Apa yang
terjadi pada 17 oktober 1952? Pagi-pagi sekali, 17 oktober 1952, 5000-an orang
muncul di jalanan Jakarta. Mereka berbaris menuju gedung parlemen di Pejambon,
Jakarta Pusat-sekarang jadi kantor Departemen Luar Negeri.
Sampai di
gedung parlemen, massa langsung menerobos masuk dan menghancurkan beberapa
kursi. Setelah menggelar aksinya di gedung parlemen, massa bergerak menuju ke
istana Presiden. Jumlah massa bertambah besar: 30-an ribu jumlah mereka.
Sementara
itu, di depan istana negara, tentara juga bertindak. Beberapa tank dan panser
diparkir dengan moncong menghadap istana. Tidak ketinggalan empat meriam
diarahkan tepat ke arah istana.
Bung Karno
punya cerita tersendiri tentang kejadian itu. Dalam buku otobiografinya, Bung
Karno: penyambung lidah rakyat, Soekarno bercerita: “pagi-pagi pada tanggal 17
oktober 1952, dua buah tank, empat kendaraan lapis baja, dan ribuan orang
menyerbu memasuki gerbang Istana Merdeka. Mereka membawa poster –poster
‘bubarkan parlemen’. Satu batalyon altileri dengan empat buah meriam memasuki
lapangan keliling istana. Meriam-meriam 25 pounder dihadapkan kepadaku. Pameran
kekuatan ini mencerminkan kelatahan daripada jaman itu. Tindakan ini tidak dapat
dikatakan bijaksana, olehkarena para panglima yang menciptakannya berada
denganku di dalam Istana.”
Upaya Kudeta
militer
Indonesianis
terkemuka, Herbert Feith, dalam bukunya The Decline of Constitutional
Democracy in IndonesiaI, menyebut para perwira angkatan darat berada di
belakang aksi tersebut.
Ada juga yang
menuding PSI, yang saat itu memainkan kartu anti-Soekarno dan anti-komunis,
berada di balik gerakan tersebut. Posisi ini dipegang oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI), dan pernah disampaikan langsung oleh ketuanya, DN Aidit, saat
kongres ke-VI PKI.
Pemicunya,
kata Aidit, PSI dan Masyumi tersingkir dari kekuasaan paska kejatuhan kabinet
Sukiman. Kita tahu, kabinet Sukiman sangat disokong oleh PSI-Masyumi dan
karakter kabinet ini sangat anti-kiri.
Soekarno
sendiri punya pandangan lain perihal peristiwa tersebut. Kepada penulis
otobiografinya, Cindy Adams, Soekarno menganggap peristiwa 17 oktober 1952 itu
sebagai percobaan “setengah coup”. Istilah “percobaan setengah coup” itu
disampaikan sendiri oleh Nasution kepada Bung Karno.
Hanya saja,
versi Nasution, seperti dikutip Bung Karno, “upaya kudeta tersebut bukan
ditujukan kepada Bung Karno, melainkan kepada sistim pemerintahan.” Mereka
(Nasution dan kelompok) menuntut Bung Karno membubarkan parlemen.
Gerakan 17
oktober 1952 juga dirancang rapi. Pada 16 oktober 1952, perencanaan gerakan ini
disusun. Wakil KSAD Letnan Kolonel Sutoko dan Letnan Kolonel S. Parman ditunjuk
sebagai pelaksana operasi. Sedangkan pelaksana di lapangan ditunjuk Kolonel dr
Mustopo dan Letkol Kemal Idris.
Seksi Intel
Divisi Siliwangi mengerahkan demonstran dari luar Ibu Kota dengan menggunakan
truk militer. Komondao militer kota Djakarta raya mengarahkan para jagoan
betawi untuk memobilisasi massa.
Pagi hari, 17
oktober 1952, militer sudah bergerak sesuai pos masing-masing. Rakyat
kebanyakan, termasuk buruh, juga diprovokasi untuk bergabung dalam aksi. Koran
Harian Rajat pada edisi 18 oktober melaporkan bahwa banyak kantor dan pabrik
yang tutup karena buruhnya berbelot ikut demonstrasi.
Pemicu Kudeta
Militer
Di penghujung
1952, militer sudah sangat gerah dengan politisi sipil dan parlemen. Sementara,
pada sisi lain, parlemen juga resah dengan meningkatnya pengaruh militer
sebagai kekuatan politik tersendiri.
Pada tahun
1952, kementerian pertahanan dan angkatan perang, yang sangat dipengaruhi oleh
PSI, berencana menjalankan reorganisasi dan memberhentikan 60 ribu pasukan
non-reguler dan 30 ribu pasukan kepolisian. Selain itu, militer telah aktif
melakukan kerjasama dan menerima bantuan dari Belanda.
Tindakan
angkatan perang ini memicu protes dari dalam dan luar. Dari dalam, sejumlah
perwira, khususnya yang dipimpin oleh Kolonel Bambang Supeno, mengajukan mosi
tidak percaya kepada pimpinan angkatan perang. Sedangkan dari luar, yakni
sejumlah kekuatan politik di parlemen, telah mengajukan mosi tidak percaya.
Sejumlah
pemimpin angkatan perang, khsusunya Nasution dan TB Simatupang, menganggap
tindakan Kolonel Bambang Supeno telah melanggar hirarki dalam angkatan perang.
Pada malam 11 Juli 1952, bertempat di rumah Mayor Jenderal T.B. Simatupang,
berlangsung rapat 17 perwira tinggi angkatan perang.
Sementara
itu, di parlemen, sejumlah politisi mengajukan mosi tidak percaya terhadap
angkatan perang. Pada 28 September, anggota parlemen Zaenul Baharuddin
mengajukan mosi tidak percaya terhadap Menteri Pertahanan dalam menyelesaikan
konflik Angkatan Perang. Ia meminta selekasnya disusun Undang-Undang Pertahanan
Negara.
Dua pekan
setelah Baharuddin, Kasimo, dari Partai Katolik, mengajukan mosi yang lain: menuntut
penyempurnaan Angkatan Perang dan pembentukan Panitia Negara untuk keperluan
itu. Sehari setelahnya, Manai Sophiaan menambah tuntutan Kasimo, yaitu usul
agar Panitia Negara diberi kewenangan memecat pemimpin Angkatan Perang.
“Serangan”
parlemen membuat para perwira angkatan perang mendidih. Mereka menganggap
parlemen telah memasuki wilayah teknis militer. Kolonel Gatot Soebroto,
Panglima Teritorium VII/Sulawesi Selatan, bahkan sampai memberikan ultimatum.
“Pokoknya di sana atau di sini harus bubar!,” katanya.
Pada tanggal
16 oktober 1952, parlemen menyetujui mosi Manai Sophiaan. Posisi Bung Karno,
seperti dicatat Herbert Feith, cenderung menyetujui langkah Manai Sophiaan ini.
Apalagi, sejak awal Bung Karno kurang setuju dengan langkah militer berpolitik
dan mencampuri kehidupan sipil.
Sementara,
pada persoalan yang lain, angkatan perang mengetahui ketidaksukaan Bung Karno
terhadap demokrasi liberal. Bung Karno gerah dengan perdebatan panjang di
parlemen tetapi tidak menyentuh persoalan rakyat. Bahkan, tidak jarang debat
warung kopi itu mengancam persatuan nasional. Jadinya, seolah-olah hendak
menyatakan pandangan politik yang sama, pimpinan angkatan perang berusaha
memanfaatkan Bung Karno untuk membubarkan parlemen.
Sikap Bung Karno
Bung Karno,
yang ditempa puluhan tahun oleh alam perjuangan dan revolusi, bukanlah pemimpin
yang gampang ditekan. Ia sama sekali tidak takut menghadapi aksi massa yang
digerakkan oleh militer itu.
Bung Karno
juga tidak gentar dengan tank, panser, dan meriam yang diarahkan kepadanya.
“Hatiku tidak gentar melihat sekitar itu (istana) dikuasai oleh meriam-meriam
lapangan. Bahkan, sebaliknya, aku menantang langsung kedalam mulut senjata itu
dan kulepaskan kemarahanku kepada mereka yang hendak mencoba mematikan sistim
demokrasi dengan pasukan bersenjata.”
Yah, pada
saat itu Bung Karno memang sangat marah kepada Nasution. “Engkau benar dalam
tuntutanmu, tetapi salah dalam caranya,” kata Bung Karno.
Saat itu,
Presiden meminta lima orang perwakilan massa untuk menemui dirinya. Akan
tetapi, tak satupun dari pemimpin massa itu yang berani. Akhirnya, Bung Karno
keluar sendiri menemui massa.
“Utusan
kalian menyampaikan tuntutan agar parlemen dibubarkan,” katanya seperti dikutip
harian Suara Rakjat. “Ini jawaban saya: Bapak tidak mau berbuat dan dikatakan
sebagai diktator.”
Bung Karno
lebih lanjut mengatakan: “Siapa hendak memperkosa demokrasi, dia hendak
memperkosa kemerdekaan itu sendiri. Siapa hendak diktator, dia akan digilas
oleh rakyat sendiri. Bila kita tinggalkan demokrasi, negara kita ini akan
hancur….”
Setelah
mendapat penjelasan dari Bung Karno, massa pun membubarkan diri. Mereka tahu
bahwa Presiden tidak menyetujui aksi mereka.
Setelah massa
bubar, giliran petinggi militer, termasuk Nasution, menemui Bung Karno. Konon,
Nasution menyodorkan konsep keadaan bahaya di seluruh Indonesia. Akan tetapi,
usulan tersebut ditolak Bung Karno.
Hari itu,
seusai menggelar aksi, militer memutus jalur telpon, melarang pertemuan massa
yang melebihi 5 orang, dan memperpanjang jam malam dari pukul 22.00-05.00
menjadi pukul 20.00-05.00.
Militer juga
membredel sejumlah media yang tidak mendukungnya: Harian Merdeka, Madjalah
Merdeka, Mimbar Indonesia, dan Berita Indonesia. Sejumlah anggota parlemen juga
ditangkap.
Beberapa
bulan setelah kejadian, pertentangan di tubuh militer makin menajam. Sejumlah
perwira militer yang tunduk kepada Bung Karno melancarkan gerakan
pengambil-alihan kepemimpinan terhadap perwira militer pro-17 Oktober 1952. Itu
terjadi di Teritorium V/Brawijaya (Jatim), Teritorium VII/Sulawesi Selatan,
Teritorium II di Sumatera Selatan.
Nasution juga
sempat diberhentikan karena kejadian itu. Akan tetapi, karena pertimbangan
persatuan nasional, Bung Karno mengaktifkan kembali Nasution pada jabatan lain.
TIMUR
SUBANGUN (Kontributor Berdikari Online)
http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2556259364909930790#editor/target=post;postID=6072338168050509551
terima kasih atas infonya
BalasHapusterima kasih atas infonya
BalasHapus