SEJARAH BOGOR
DAN KERAJAAN YANG ADA .
Kerajaan Tarumanagara Tarumanagara
atau Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah pulau Jawa
bagian barat pada abad ke-4 sampai abad ke-7 M, yang merupakan salah satu
kerajaan tertua di Nusantara yang diketahui. Dalam catatan, kerajaan
Tarumanagara adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.Daftar isi
[sembunyikan]
1 Sejarah
1.1 Prasasti
1.1.1 Prasasti Pasir
Muara
1.1.2 Prasasti
Ciaruteun
1.1.3 Prasasti Telapak
Gajah
1.1.4 Prasasti lain
1.2 Naskah Wangsakerta
1.2.1 Raja- raja
Tarumanagara menurut Naskah WangsakertaSejarah Bila menilik catatan
prasasti, tidak ada penjelasan yang pasti siapa yang mendirikan pertama kal
kerajaan Taruma. Raja yang berkuasa adalah Purnawarman.
Pada tahun 417 ia
memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak
(sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan
dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana. Prasasti Prasasti
Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan
kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor Prasasti Tugu, ditemukan di
Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang
disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan
penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati
oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai
tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang
sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi
pada musim kemarau. Prasasti Munjul atau Prasasti Cidanghiang, ditemukan
di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul,
Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman. Prasasti
Ciaruteun, Ciampea, Bogor Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor Prasasti
Jambu, Nanggung, Bogor Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor Lahan
tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah
berpermukaan datar dan
diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad
ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu
termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan
Cibungbulang. Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah
ditemukan, dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan sungai" yang
bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad
ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang
masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke
daerah hilir. Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang
pada awalnya merupakan perkembangan dari karakter tipe Pallawa Lanjut, yang
mengacu pada model karakter Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada
zaman ini, karakter tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya
sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16. Prasasti
Pasir Muara Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah,
tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman . Prasasti
itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan: ini
sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa
barpulihkan haji su-nda Terjemahannya menurut Bosch: Ini tanda ucapan
Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi ( 4),
pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda. Karena angka tahunnya
bercorak "Sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato
gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam
tahun 458 Saka atau 536 Masehi. Prasasti Ciaruteun Prasasti Ciaruteun
ditemukan pada aliran Sungai Ciaruteun, seratus meter dari pertemuan sungai
tersebut dengan Sungai Cisadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan
di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa,
berbahasa Sansekerta. Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi:vikkrantasyavanipateh
shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam Terjemahannya
menurut Vogel: Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki)
Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman
penguasa Tarumanagara. Selain itu, ada pula gambar sepasang
"pandatala" (jejak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan &
mdash & fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran
prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk
kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa
II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan
Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah) Pasir Muhara. Prasasti
Telapak Gajah Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah
yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi: jayavi s
halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayamTerjemahannya: Kedua
jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawatakepunyaan
penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa. Menurut mitologi Hindu,
Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur . Menurut
Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman
diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan
juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas
kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran
sepasang lebah. Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas
ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan
di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran
kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf
ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian
pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya
sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra
(matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Tarumanagara dan
ukiran sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada mahkota
Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber sejarah
harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun. Prasasti
lain Di daerah Bogor ,
masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan
Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung,
Kecamatan LeuwiLiang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti
inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi
dua baris: Shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam
nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam -
padavimbadavyam arnagarotsadane Nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati
sukhahakaram shalyabhutam ripunam. Terjemahannya menurut Vogel: Yang
termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri
Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus
oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang
selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan
kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi
musuh-musuhnya.
Sejarah Kota Bogor
Pakuan Pajajaran atau Pakuan
(Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan Kerajaan Sunda, sebuah
kerajaan yang selama beberapa abad (abad ke-7 hingga abad ke-16) pernah berdiri
di wilayah barat pulau Jawa. Lokasi Pakuan Pajajaran berada di wilayah Bogor,
Jawa Barat sekarang.Hampir secara umum penduduk Bogor mempunyai keyakinan bahwa
Kota Bogor mempunyai hubungan lokatif dengan Kota Pakuan, ibukota Pajajaran.
Asal-usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah
hasil penelusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu:Naskah
Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berbahasa Sunda Kuna ini diterangkan
bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat
pohon Pakujajar.K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te
Buitenzorg (Batutulis di Bogor), Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor
terdapat kampung bernama Cipaku, beserta sungai yang memiliki nama yang sama.
Di sana banyak
ditemukan pohon paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan
kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang
berjajar ("op rijen staande pakoe bomen").G.P. Rouffaer (1919) dalam
Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung
pengertian "paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat"
(spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku
Buwono dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan
"Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai
"berdiri sejajar" atau "imbangan" (evenknie). Yang
dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit.
Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari
uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti
"Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja)
Majapahit". Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan
Pajajaran didirikan tahun 1433.R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan De
Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor) ia menjelaskan bahwa kata
"Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno "pakwwan"
yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada
Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan
"pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau istana. Jadi,
Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang
berjajar"(aanrijen staande hoven).H. Ten Dam (1957). Sebagai Insinyur
Pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat
dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya,
Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian
"Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu
yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia
mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi
dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian
"paku".Ia berpendapat bahwa "pakuan" bukanlah nama,
melainkan kata benda umum yang berarti ibukota (hoffstad) yang harus dibedakan
dari keraton. Kata "pajajaran" ditinjaunya berdasarkan keadaan
topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia
melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara Sungai Besar dengan
Sungai Tanggerang (disebut juga Ciliwung dan Cisadane). Ten Dam menarik
kesimpulan bahwa nama "Pajajaran" muncul karena untuk beberapa
kilometer Ciliwung dan Cisadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam
pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh
Pajajaran".Sebutan "Pakuan", "Pajajaran", dan
"Pakuan Pajajaran" dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis (nomor 1
& 2) sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan di
Bekasi.Dalam naskah Carita Parahiyangan ada kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal,
inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu
Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura
Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata" (Sang Susuktunggal,
dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu
Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana
Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).Sanghiyang Sri Ratu
Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan"
itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dan seterunya.
"Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton,
kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang sejalan dengan arti
yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu "istana yang
berjajar". Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana
yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri.
Diperkirakan ada lima
(5) bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura
dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik
"panca persada" (lima
keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan
dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten
dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam.Karena nama yang panjang itulah
mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau
Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibukota dan akhirnya menjadi
nama negara. Contohnya : Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta
Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibukota dan nama daerah. Ngayogyakarta
Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.Pendapat Ten Dam
(Pakuan = ibukota ) benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik.
Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibukota kerajaan Sunda
itu bernama "Dayo" (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, dua
hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama "Dayo"
didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang
Pelabuhan Kalapa menggunakan kata "dayeuh" (bukan "pakuan")
bila bermaksud menyebut ibukota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata
"dayeuh", sedangkan dalam kesusastraan digunakan "pakuan"
untuk menyebut ibukota kerajaan.Untuk praktisnya, dalam tulisan berikut
digunakan "Pakuan" untuk nama ibukota dan "Pajajaran" untuk
nama negara, seperti kebiasaan masyarakat Jawa Barat sekarang ini.LOKASI KUNONASKAH
KUNODalam kropak (tulisan dari daun lontar atau daun nipah yang diberi
nomor 406 di museum pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi
Pakuan.. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan (biasa tulisan dari daun lontar
tulisan dari daun lontar atau daun nipah yang diberi daun nipah yang
diberi nomor 406 di Museum Pusat ontar atau daun nipah yang diberi nomor 406 di
Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406
sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian
yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan
mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura
Suradipati:"Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri
Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku
Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan.
Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun
Maharaja Tarusbawa."(Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah
diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai
[dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah.
Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh
Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa).Dari sumber kuno itu
dapat diketahui bahwa letak kraton diketaui bhawa Dari sumber kuno itu dapat
diketahui bahwa letak kraton tidak akan terlalu jauh dari hulu Ci
Pakancilan. Hulu Sungai ini terletak di dekat lokasi kampung lawang Dari sumber
kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari
"hulu Ci Pakancilan". Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi
kampung Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut
Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak jaman Pajajaran sungai
itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya
menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuna dan Jawa Kuna kata
"kancil" memang berarti "peucang".BERITA-BERITA VOCLaporan
tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan
ekspedisi pasukan VOC ("Verenigde Oost Indische
Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah
disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki perserikatan yang serupa dengan
nama EIC ("East India Company"), maka VOC sering disebut Kumpeni
Belanda dan EIC disebut Kumpeni Inggris.Setelah mencapai persetujuan dengan
Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten
(1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah
pihak.LAPORAN SCIPIODua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah:Catatan
perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui
Tajur, kira-kira lokasi Pabrik "Unitex" sekarang. Catatannya adalah
sbb.: "Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan
yang bersih dan di sana
banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni".Lukisan jalan
setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat "Melewati dua buah jalan dengan
pohon buah-buahan yang berderet lurus dan 3 buah runtuhan parit". Dari
anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan
dari Raja Pajajaran.Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang
masih bisa memberikan "kesan wajah" kerajaan hanyalah "Situs
Batutulis".Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes
Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23
Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, "dat
hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers
bewaakt ent bewaart wort" (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat
duduk yang ditinggikan untuk raja "Jawa" Pajajaran sekarang masih
berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).Rupanya laporan
penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang
diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687.
Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan
khayalan adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan
harimau.LAPORAN ADOLF WINKLER(1690)Laporan Scipio menggugah para pimpinan
Kumpeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali team ekspedisi dipimpin
oleh Kapiten Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26
orang Makasar serta seorang ahli ukur.Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler
adalah sebagai berikut :Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedung Halang
lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan. Ia melewati jalan besar yang
oleh Scipio disebut "twee lanen". Hal ini tidak bertentangan Scipio.
Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu
membentuk siku-siku. Karena itu ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap
jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.Setelah melewati
sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit Pakuan yang dalam dan
berdinding tegak ("de diepe dwarsgragt van Pakowang") yang tepinya
membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit
setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung
Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke
pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.Bila
kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara
Parung AngsanaBila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan
lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh
dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks
"Unitex" itu pada jaman Pajajaran merupakan "Kebun
Kerajaan". Tajur adalah kata Sunda kuno yang berarti "tanam, tanaman
atau kebun". Tajur Agung sama artinya dengan "Kebon Gede atau Kebun
Raya". Sebagai kebun kerajaan, Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama
keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon
durian pada kedua sisinya.Dari Tajur Agung Winkler menuju ke daerah Batutulis
menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan.
Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku "Tulus
Rejo" sekarang). Di situlah letak Kampung Lawang Gintung pertama sebelum
pindah ke "Sekip" dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawang Gintung).
Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantar Peuteuy
(depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon Gintung.Di Batutulis
Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut
penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan ("het
conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben"). Setelah diukur,
lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan tujuh (7) batang
pohon beringin.Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang
dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs
Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca
("Purwa Galih"), maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara
tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang
indah dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil
ini bersambung dengan Bale Kambang (rumah terapung). Bale kambang ini adalah
untuk bercengkrama raja. Contoh bale kambang yang masih utuh adalah seperti
yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali.Dengan indikasi
tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi
Jalan Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang
sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan "benteng batu" yang
ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara). Balekambang
terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada
dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.Dari Gang Amil,
Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa "Istana
Pakuan" itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi
tulisan sebanyak 8 1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya
berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup).Yang penting adalah untuk kedua batu
itu Winkler menggunakan kata "stond" (berdiri). Jadi setelah
terlantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak, bubar atau hancur,
oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri, masih tetap pada
posisi semula.Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut
Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat tiga
buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang
dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis
di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam
bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat
kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui
hubungan antara "Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan
Prabu Siliwangi. Menurut babad ini, "pohon campaka warna" (sekarang
tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.LAPORAN ABRAHAM VAN
RIEBEECK(1703,1704,1709)Abraham adalah putera Joan van Riebeeck pendiri Cape
Town di Afrika Selatan. Penjelajahannya di daerah Bogor dan sekitarnya
dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi VOC. Dua kali sebagai
Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke Pakuan
tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu.Rute
perjalanan tahun 1703: Benteng - Cililitan - Tanjung - Serengseng - Pondok Cina
- Depok - Pondok Pucug (Citayam) - Bojong Manggis (dekat Bojong Gede) - Kedung
Halang - Parung Angsana (Tanah Baru).Rute perjalanan tahun 1704: Benteng -
Tanah Abang - Karet - Ragunan - Serengseng - Pondok Cina dan seterusnya sama
dengan rute 1703.Rute perjalanan tahun 1709: Benteng - Tanah Abang - Karet - Serengseng
- Pondok Pucung - Bojong Manggis - Pager Wesi - Kedung Badak -
Panaragan.Berbeda dengan Scipio dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari
arah Empang. Karena itu ia dapat mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah
dataran tinggi. Hal ini tidak akan tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis
dari arah Tajur. Yang khusus dari laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis
tentang "de toegang" (jalan masuk) atau "de opgang" (jalan
naik) ke Pakuan.BEBERAPA HAL YANG DAPAT DIUNGKAPKAN DARI KETIGA PERJALANAN VAN
RIEBEECK ADALAH:Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun luar pada zaman
Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam
(sekarang parit ini membentang dari Kampung Lolongok sampai Ci
Pakancilan).Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada jaman Pakuan merupakan jalan
masuk yang sempit dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang penunggang
kuda atau dua orang berjalan kaki.Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan
dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan dasarnya bersambung kepada kaki
benteng Pakuan. Jembatan Bondongan yang sekarang dahulunya merupakan pintu
gerbang kota.Di belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas
yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Ci Sadane.Pada kunjungan tahun
1704, di seberang "jalan" sebelah barat tempat patung "Purwa
Galih" ia telah mendirikan pondok peristirahatan
("somerhuijsje") bernama "Batutulis". Nama ini kemudian
melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut.HASIL
PENELITIANPrasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan
pembuatan "cetakan tangan" untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya
pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah
ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya C.M. Pleyte yang
mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti
itu.Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri
berlangsung tahun 1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij
Buitenzorg atau "Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor", Pleyte
menjelaskan,"Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige
historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal
Padjadjaran's koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan.
Naar eenige preciseering in deze te trachten".(Dalam hal legenda-legenda
dan berita-berita sejarah yang lebih terpercaya, kampung Batutulis yang
sekarang terarah sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran; masalah yang timbul tinggalah
menelusuri letaknya yang tepat).Sedikit kotradiksi dari Pleyte: meski di
awalnya ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, tetapi kemudian
ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis
yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri
Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.Babad Pajajaran
melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan
"Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota
dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di
daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan
Siliwangi dengan Jalan Batutulis.Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak
keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat.
Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang.
Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data kepurbakalaan dan
sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa "Leuwi Sipatahunan"
yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ci Liwung di dalam
Kebun Raya Bogor. Menurut kisah klasik, leuwi (lubuk) itu biasa dipakai
bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak
istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan" itu.Pantun Bogor
mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa" (Kesatrian)
dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama
"Mila Kencana". Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah
yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang
kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan.
Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang
terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan
datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar.
Penduduk Lawanggintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini
"Kuta Maneuh".Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada
laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan
Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk situs prasasti,
melainkan pada kata "paseban" dengan tujuh batang beringin pada
lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan
pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang
lama.Panelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah
Lawangsaketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang
Saketeng" berarti "porte brisee, bewaaktein-en uitgang" (pintu
gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak
terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.Benteng pada tempat ini terletak pada
tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Ci Pakancilan, kemudian
bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah
menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan
tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di
bagian ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan pada bekas pondasi
benteng.Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan
kios dekat simpangan Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas
fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota
Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar
berlanjut sepanjang puncak lereng Ci Liwung melewati kompleks perkantoran PAM,
lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke
barat daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus
memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.Di Kampung Lawanggintung benteng ini
bersambung dengan "benteng alam" yaitu puncak tebing Ci Paku yang
curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota
Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Ci Pakancilan
setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Ci Pakancilan memisahkan
"ujung benteng" dengan "benteng" pada tebing Kampung
CincaPEMERINTAHAN DI PAKUAN PAJAJARANKejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V)
Raja Majapahit tahun 1478 telah mempengaruhi jalan sejarah di Jawa Barat.
Rombongan pengungsi dari kerabat keraton Majapahit akhirnya ada juga yang
sampai di Kawali. Salah seorang diantaranya ialah Raden Baribin saudara seayah
Prabu Kertabumi. Ia diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan
kemudian dijodohkan dengan Ratna Ayu Kirana (puteri bungsu Dewa Niskala dari
salah seorang isterinya), adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang telah jadi
raja daerah di Pasir Luhur. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah
seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan.Dalam Carita
Parahiyangan disebutkan "estri larangan ti kaluaran". Sejak peristiwa
Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton
Majapahit. Selain itu, menurut "perundang-undangan" waktu itu,
seorang wanita yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali
bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan.Dengan demikian,
Dewa Niskala telah melanggar dua peraturan sekaligus dan dianggap berdosa besar
sebagai raja. Kehebohan pun tak terelakkan. Susuktunggal (Raja Sunda yang juga
besan Dewa Niskala) mengancam memutuskan hubungan dengan Kawali. Namun,
kericuhan dapat dicegah dengan keputusan, bahwa kedua raja yang berselisih itu
bersama-sama mengundurkan diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta
Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu
Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini
(Jayadewata).Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan
Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan. Jayadewata memutuskan untuk
berkedudukan di Pakuan sebagai "Susuhunan" karena ia telah lama
tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali
lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. Masa Akhir Kerajaan Sunda di
Pakuan Pajajaran berlangsung selama 97 tahun, yang secara berturut-turut
dipimpin olehSri Baduga Maharaja (1482 - 1521)Surawisesa (1521 - 1535)Ratu
Dewata (1535 - 1534)Ratu Sakti (1543 - 1551)Ratu Nilakendra (1551 - 1567)Raga
Mulya (1567 - 1579)Prasasti Batutulis terletak di jalan Batutulis, Kelurahan
Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Kompleks Prasasti Batutulis
memili luas 17 x 15 meter. Batu Prasasti dan benda-benda lain peninggalan
kerajaan Pajajaran terdapat dalam komplek ini. Pada batu ini berukir
kalimat-kalimat dengan huruf Sunda Kawi.
Kerajaan Tarumanagara
Tarumanagara atau Taruma
adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah pulau Jawa bagian barat
pada abad ke-4 sampai abad ke-7 M, yang merupakan salah satu kerajaan tertua di
Nusantara yang diketahui. Dalam catatan, kerajaan Tarumanagara adalah
kerajaan Hindu beraliran Wisnu.Daftar isi [sembunyikan] 1. Sejarah 1.1
Prasasti 1.1.1 Prasasti Pasir Muara 1.1.2 Prasasti Ciaruteun 1.1.3
Prasasti Telapak Gajah 1.1.4 Prasasti lain 1.2 Naskah Wangsakerta 1.2.1
Raja-raja Tarumanagara menurut Naskah Wangsakerta SEJARAH
Bila menilik catatan
prasasti, tidak ada penjelasan yang pasti siapa yang mendirikan pertama kal
kerajaan Taruma. Raja yang berkuasa adalah Purnawarman. Pada tahun
417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112
tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan
selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
PRASASTI
PRASASTI KEBON KOPI dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor prasasti Tugu
ditemukan di Kampung
Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan
di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian
Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh
Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut
merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering
terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada
musim kemarau.
Prasasti Munjul atau
Prasasti Cidanghiang, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di
Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian
kepada Raja Purnawarman. Prasasti yang ditemukan di Bogor: Prasasti
Ciaruteun, Ciampea, Bogor Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor Prasasti
Jambu, Nanggung, Bogor Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Lahan tempat prasasti itu
ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang
sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu
masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah
swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Kampung Muara tempat
prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah
"kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan
Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih
digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan
oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.
Prasasti pada zaman ini
menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan perkembangan dari
karakter tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model karakter Kamboja dengan
beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini, karakter tersebut
belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan
naskah-naskah (lontar) abad ke-16.
PRASASTI PASIR MULYA
Di Bogor, prasasti ditemukan
di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah
peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam
prasasti itu dituliskan:
ini sabdakalanda rakryan
juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda Terjemahannya
menurut Bosch:
Ini tanda ucapan Rakryan
Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4),
pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda.
Karena angka tahunnya
bercorak "Sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato
gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam
tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
PRASASTI CIARUTEUN
Prasasti Ciaruteun ditemukan
pada aliran Sungai Ciaruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut
dengan Sungai Cisadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam
cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa
Sansekerta. Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi: vikkrantasyavanipateh
shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam Terjemahannya
menurut Vogel:
Kedua (jejak) telapak kaki
yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani
yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.
Selain itu, ada pula gambar
sepasang "pandatala" (jejak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan
& mdash & fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman
sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa
daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya.Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada
masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja
daerah) Pasir Muhara.
PRASASTI TELAPAK GAJAH
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi: jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam Terjemahannya: Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.
Menurut mitologi Hindu,
Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa
Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1,
gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan
Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan
rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah.Demikian pula mahkota yang
dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.
Ukiran bendera dan sepasang
lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing
perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai
perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli
diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya
sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan
telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar
atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari
Cirebon tentang bendera Tarumanagara dan ukiran sepasang "bhramara"
(lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan"
nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang
terdapat pada prasasti Ciaruteun.
PRASASTI LAIN
Di daerah Bogor, masih ada
satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang
terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan LeuwiLiang. Pada
bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang
telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:
Shriman data kertajnyo
narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara
fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane Nitya-dksham
bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.
Terjemahannya menurut Vogel:
Yang termashur serta setia
kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang
memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah
musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu
berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan
(kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi
musuh-musuhnya.
Naskah Wangsakerta
Penjelasan tentang
Tarumanagara cukup jelas di Naskah Wangsakerta. Sayangnya, naskah ini
mengundang polemik dan banyak pakar sejarah yang meragukan naskah-naskah ini
bisa dijadikan referensi sejarah.
Pada Naskah Wangsakerta dari
Cirebon itu, Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada
tahun 358, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395). Jayasingawarman
dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga.
Maharaja Purnawarman adalah
raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun ibukota kerajaan
baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota
itu Sundapura - pertama kalinya nama "Sunda" digunakan.
Prasasti Pasir Muara yang
menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat
tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara
adalah Suryawarman (535 - 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka
Jawadwipa, parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa
dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak
penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya
sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara.Ditinjau dari segi ini,
maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.
Rakeyan Juru Pengambat yang
tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang pejabat tinggi
Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan
di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa prasasti mengenai
pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana? Apakah
daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang
termasuk kawasan Kerajaan Sunda?
Baik sumber-sumber prasasti
maupun sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa Purnawarman berhasil
menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa
wilayah kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara,
parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan
Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau
Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang
Purbolinggo) di Jawa Tengah.Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang
dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.
Kehadiran Prasasti
Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M,
merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah
kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah
bergeser ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura
atau Salakanagara (kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun
150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja
Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).
Ketika pusat pemerintahan
beralih dari Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah status
menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah
menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana
di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan
Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.
Suryawarman tidak hanya
melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak
kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga
mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M,
misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan,
daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya
ini tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi
Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi
lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun
612 M.
Tarumanagara sendiri hanya
mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669, Linggawarman,
raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman
sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri
Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri
Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis,
tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya,
yaitu Tarusbawa.
Kekuasaan Tarumanagara
berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi
lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang
sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan
ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari
Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.
Raja-raja Tarumanagara
menurut Naskah Wangsakerta -Jayasingawarman 358-382 -Dharmayawarman
382-395 -Purnawarman 395-434 -Wisnuwarman 434-455 -Indrawarman
455-515 -Candrawarman 515-535 -Suryawarman 535-561 -Kertawarman
561-628 -Sudhawarman 628 -639 -Hariwangsawarman 639-640 -Nagajayawarman
640-666 -Linggawarman 666-669 Kerajaan Salakanagara Sejarah
Sunda Naskah Wangsakerta Sundapura
Sumber :
Ayatrohaedi, 2005,
Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia
Wangsakerta" Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya. ISBN 979-419-330-5
Saleh Danasasmita, 2003,
Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Bandung: Kiblat
Buku Utama. ISBN
Yoseph Iskandar, 1997,
Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.
Sumber SITUS RESMI KOTA BOGOR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar